A. PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan kebutuhan primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat
sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendidikan,
disamping bidang yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompetitif dan berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu dari
sekian banyak masalah di era global yang dihadapi Indonesia saat ini adalah
masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini
terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas hasil pendidikan. Adanya
kebijakan sertifikasi guru adalah salah satu upaya nyata Pemerintah untuk
meningkatkan profesionalisme guru agar guru sebagai aktor utama dalam
pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya dapat meningkatkan
kompetensinya.
Seorang guru penting untuk menciptakan
paradigma baru untuk menghasilkan praktik terbaik dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran
tuntutan hasil pendidikan yang berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka
gurulah yang harus berperan mewujudkan harapan itu. Guru harus selalu
mengembangkan diri, baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang studi maupun
pedagogik, termasuk penggunaan internet dalam mencari informasi terkini.
Ronald Brandt (1993) menyatakan bahwa hampir
semua usaha reformasi dalam pendidikan, seperti pembaharuan kurikulum dan
penerapan metode pembelajaran baru akhirnya tergantung kepada guru. Tanpa guru
yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi belajar-mengajar, maka segala
upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Hal
ini berarti seorang guru tidak hanya diharapkan mampu menguasai bidang ilmu
yang diajarkan, tetapi juga menguasai strategi belajar-mengajar.
Saat ini dunia
pendidikan telah banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan menghadirkan
strategi/model pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya mengga-irahkan
minat belajar peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran dan
hasil belajar. Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui model-model
pembelajaran, baik jenisnya maupun cara penerapannya.
B. KONSEP BELAJAR DAN MODEL PEMBELAJARAN
Kegiatan
belajar merupakan kegiatan yang paling penting dalam proses pendidikan di
sekolah, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan
banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami murid sebagai anak
didik, maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai suatu proses
psikologi, terjadi didalam diri seseorang. Oleh karena itu sulit diketahui
dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks, maka
timbul beberapa teori tentang belajar. Dalam hal ini Sardiman, (2003: 30)
antara lain : teori ilmu jiwa daya, ilmu jiwa gestalt, ilmu
jiwa asosiasi
dan kontruktivisme. Teori belajar menurut ilmu jiwa daya: jiwa manusia itu
terdiri bermacam-macam daya, dan masing-masing daya dapat dilatih untuk
memenuhi fungsinya. Untuk melatih suatu daya dapat dipergunakan berbagai cara .
Sebagai contoh untuk melatih daya ingat dalam belajar misalnya dengan
menghafal, sehingga ada yang berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kegiatan
menghafal beberapa fakta-fakta. Guru yang berpendapat demikian akan merasa puas
apabila muridnya telah sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala.
Demikian juga untuk daya-daya yang lain. Dalam hal ini, yang penting bukan
penguasaan bahan atau materinya, melainkan hasil dari pembentukan dari
daya-daya itu. Teori belajar menurut ilmu jiwa gestalt menyatakan bahwa
kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting
dilakukan secara menyeluruh. Tokoh yang merumuskan penerapan dari kegiatan
pengamatan ke kegiatan belajar adalah Koffka. Terkait dengan belajar, Koffka
berpendapat bahwa hukum-hukum organisasi dalam pengamatan itu dapat diterapkan
dalam kegiatan belajar. Dalam kegiatan pengamatan keterlibatan semua panca
indera sangat diperlukan dan mudah atau sukarnya suatu pemecahan masalah
tergantung pada pengamatan. Menurut aliran teori belajar ini, seorang belajar
jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh apabila seseorang
melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun
timbulnya insight itu tergantung: kesanggupan, pengalaman, latihan dan trial
and error (Sardiman, 2003: 31). Sehingga ada juga yang berpendapat bahwa
belajar adalah latihan, dan hasil belajar akan nampak dalam keterampilan-keterampilan
tertentu, misalnya agar siswa mahir dalam berhitung harus dilatih mengerjakan
soal-soal berhitung.
Teori belajar
yang lain yakni teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi . Ada dua teori yang
sangat terkenal yaitu teori Konektionisme dari Thorndike dan teori Conditioning
dari Pavlov. Menurut Thorndike dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara
kesan panca indera (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impuls
to action), dengan kata lain belajar adalah pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi. Mengenai hubungan stimulus dan
respons tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip diantaranya bahwa
hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat apabila disertai perasaan
senang atau puas dan sebaliknya (law of effect) oleh karena itu adanya
usaha membesarkan hati dan memuji sangat diperlukan, hubungan stimulusdan
respon akan bertambah erat apabila
sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan (law
of exercise atau law of use and disuse) oleh karena itu perlu banyak
latihan, dan kadang respon yang tepat tidak segera nampak sehingga harus
berulang kali mengadakan percobaan-percobaan sampai respon itu muncul dengan
tepat (law of multiple respone) sehingga dalam belajar sering disebutnya
trial and error. Teori belajar menurut teori konstruktivisme,
yang merupakan salah satu filsafat pengetahuan, menekankan bahwa pengetahuan
kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Menurut pandangan teori
kontrukstivisme, belajar merupakan proses aktif dari subyek belajar untuk\ merekonstruksi
makna sesuatu, entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain,
sehingga belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman
atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, dengan
demikian pengertiannya menjadi berkembang. Sehubungan dengan itu ada beberapa
ciri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997), yaitu :
1. Belajar berarti mencari makna. Makna
diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
2. Kontruksi makna adalah proses yang terus
menerus.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan
fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang
baru.
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
subyek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
5. Hasil belajar tergantung pada apa yang
telah diketahui si subyek belajar, tujuan, motivasi mempengaruhi proses
interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Jadi menurut
teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana siswa
membangun sendiri pengetahuannya dan mencari sendiri makna dari sesuatu yang
mereka pelajari.
Dari
teori-teori belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu
proses perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman individu pelaku proses
pembelajaran saat berinteraksi dengan lingkungannya yang dilakukan secara
sadar. Ini berarti pembelajaran merupakan upaya membuat seseorang belajar
tentang sesuatu hal. Sedangkan proses pembelajaran di sini merupakan titik
pertemuan antara berbagai input pembelajaran, mulai dari faktor utama, yaitu:
siswa, guru, dan materi pelajaran yang membentuk proses, hingga faktor
pendukung seperti sarana, sumber belajar, lingkungan dan sebagainya. Dalam
rangka membelajarkan siswa banyak pakar pendidikan telah mengembangkan berbagai
model pembelajaran dengan harapan akan dapat lebih meningkatkan mutu proses dan
hasil belajar. Yang dimaksud model menurut kamus W.J.S. Poerwadarminta adalah
sesuatu yang patut ditiru, sedangkan arti lainnya adalah pola atau contoh.
Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: …1092) ada beberapa pengertian dari
strategi yaitu : (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk
melaksanakan kebijakan tertentu dalam perang dan damai, (2) rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus, sedangkan metode adalah cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki. Soedjadi (1999: 101) strategi pembelajaran adalah
suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah satu
keadaan pembelajaran kini menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan. Untuk mengubah
keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih
lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih
dari satu metode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu teknik.
Sehingga istilah model pembelajaran berbeda dengan strategi pembelajaran,
metode pembelajaran dan prinsip pembelajaran. Konsep model pembelajaran untuk
pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Bruce Joyce et al., 1992
). Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Bruce Joyce
dan Marsha Weil. Dalam penjelasan dan pencatatan tiap-tiap pendekatan
dikembangkan suatu sistem penganalisisan dari sudut dasar teorinya, tujuan
pendidikan, dan perilaku guru dan siswa yang diperlukan untuk melaksanakan
pendekatan itu agar berhasil. Dengan demikian model pembelajaran adalah pola
komprehensif yang patut dicontoh, menyangkut bentuk utuh pembelajaran, meliputi
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Sedangkan pendekatan
pembelajaran adalah cara pandang terhadap pembelajaran dari sudut tertentu
untuk memudahkan pemahaman terhadap pembelajaran yang selanjutnya diikuti
perlakuan pada pembelajaran tersebut.
C.
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY)
Model pembelajaran discovery (penemuan) adalah metode
mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh
pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan,
sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam
pembelajaran discovery (penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang
dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa
melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik
kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Metode discovery
diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi objek sebelum sampai pada
generalisasi. Sedangkan Bruner menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas itu perlu dilaksanakan
melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang
dilaksanakan siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu
konsep atau prinsip.
Discovery ialah proses
mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses
mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan
dan sebagainya. Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau
mengalami proses mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan intruksi.
Dengan demikian pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan
berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar
sendiri.
Metode
pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang
menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran
dengan metode ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang
mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan
semacamnya.
Tiga ciri utama
belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada
siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada.
Blake et al.
membahas tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell. Whewell
mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2)
menarik kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).
Langkah-langkah pembelajaran discovery
adalah sebagai berikut:
- identifikasi kebutuhan siswa;
- seleksi pendahuluan terhadap
prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan;
- seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
- membantu dan memperjelas tugas/ problema
yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa;
- mempersiapkan kelas dan alat-alat yang
diperlukan;
- mengecek pemahaman siswa terhadap masalah
yang akan dipecahkan;
- memberi kesempatan pada siswa untuk
melakukan penemuan;
- membantu siswa dengan informasi/ data jika
diperlukan oleh siswa;
- memimpin analisis sendiri (self
analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi
masalah;
- merangsang terjadinya interaksi antara
siswa dengan siswa;
- membantu siswa merumuskan prinsip dan
generalisasi hasil penemuannya.
Salah satu
metode belajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang
sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode
ini: (1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2)
dengan menemukan dan menyelidiki sendiri konsep yang dipelajari, maka hasil yang
diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan tidak mudah dilupakan siswa; (3)
pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan
menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode
ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir
analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini
akan ditransfer dalam kehidupan nyata.
Beberapa
keuntungan belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan
mudah diingat; (2) hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang
lebih baik dari pada hasil lainnya; (3) secara menyeluruh belajar discovery
meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas. Secara khusus
belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk
menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Beberapa keunggulan metode penemuan juga
diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179) sebagai berikut:
- siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab
ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir;
- siswa memahami benar bahan pelajaran,
sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan
cara ini lebih lama diingat;
- menemukan sendiri menimbulkan rasa puas.
Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat
belajarnya meningkat;
- siswa yang memperoleh pengetahuan dengan
metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai
konteks;
- metode ini melatih siswa untuk lebih
banyak belajar sendiri.
Selain memiliki
beberapa keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan
dengan belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan
bantuan guru. Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan
dan dengan memberikan informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi
tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipersiapkan
oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.
Metode discovery
(penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode penemuan
terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum
menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan)
terbimbing (guided discovery).
Di dalam model
penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif,
deduktif atau keduanya.
1. Strategi Penemuan Induktif
Sebuah argumen
induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang
mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu
(Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak
perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya,
tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung.
Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima
dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima
adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di
dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi.
Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena
hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi.
Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari
yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh
pokok-pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini :
Guru : sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan
tantangan matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut.
20 = 17 + 3
22 = 19 + 3
24 = 17 + 7
26 = 13 + 13
28 = 17 + 11
Apakah kalian mencatat pola dari pernyataan tersebut?
Lala : “Bilangan di sisi kiri semua bilangan dua puluhan.”
Guru : “Baik. Bagaimana dengan pertambahan di sebelah kanan?”
Vivi : “Semuanya bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, tapi dapatkah kalian menyatakan yang lain
tentangnya, di samping fakta bahwa itu bilangan ganjil?”
Vivi : “Baik. Bilangan itu prima.”
Guru : “Sangat bagus, dapatkah seseorang dari kalian meringkas
pernyataan?”
Anis : “Beberapa bilangan dua puluhan merupakan pertambahan dari
dua bilangan prima.”
Guru : “Apakah kalian berpikir ini akan berlaku untuk bilangan yang
lain?”
Aldi : “Aku tidak yakin.”
Guru : “Mari kita coba untuk beberapa contoh, katakanlah 30 atau 10
atau 52.”
Sari : “Tiga puluh sama dengan 27 ditambah 3.”
Guru : “Apakah ini mengikuti pola yang sama Dian?”
Dian : “Tidak, 27 bukan bilangan prima.”
Sari : “Benar, aku lupa. 30 sama dengan 17 ditambah 13”
Guru : “Bagaimanakah dengan 10 dan 52?”
Vian : ”Sepuluh sama dengan 7 ditambah 3 dan 52 sama dengan 47
ditambah 5.”
Guru : ”Baik, setiap siswa ambil tiga contoh bilangan lain dan
cobalah. (berhenti). Sudahkah kalian menemukan dan dapatkah kalian
mengungkapkannya?”
Dude : “Empat sama dengan 2 ditambah 2, tapi 2 bukan bilangan prima
yang ganjil.”
Guru : “Bagaimana dengan 3 ditambah 1? Ini juga sama dengan 4.”
Dude : “Satu bukan bilangan prima.”
Guru : “O.K. Bagaimana dengan 6? Apakah ada yang sudah mencobanya?”
Ita : “Itu mudah, 3 ditambah 3”
Guru : “Apakah kalian sudah menyimpulkan mengenai bilangan genap
dan bilangan prima ganjil?”
Ida : “Baik, setiap bilangan genap yang lebih dari 4 adalah sama
dengan pertambahan dua bilangan prima ganjil.”
Guru : “Sangat bagus. Ini statemen yang sangat terkenal yang
disebut dugaan Goldbach. Tidak seorangpun yang telah menemukan, meskipun
matematikawan tidak mampu membuktikan itu. Untuk alasan ini kita cenderung
percaya bahwa statemen ini benar.”
2. Strategi Penemuan Deduktif
Ciri utama
matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan
diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar
pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi
penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu
untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru
cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran
siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran.
Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan
menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan penemuan
deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah
penarikan kesimpulan tertentu.
Proses
induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun
demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif
melalui peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa
contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai
gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan
secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat
digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika. Dengan
penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian
dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model
pembelajaran dengan penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat
diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat
untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika
tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk
berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang
disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada
kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.
Dengan model
penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas
menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial
and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan
membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka
pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan
penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar
dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas
untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam
kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir
matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah (Tim
PPPG Matematika, 2006).
D. PENERAPAN TEORI DIDALAM PRAKTEK PEMBELAJARAN
DENGAN PENEMUAN DIDALAM KELAS.
Guru yang
menganut tujuan pokok bruner, yaitu menjadi siswwa mampu berdiri sendiri, harus
mendorong siswa untuk mandiri ssendiri mungkin sejak awal masuk sekolah. Akan
tetapi bagaimana guru dapat membantu siswa tmbuh mandiri? Kemungkinan jawaban
yang paling tepat sesuai dengan pandangan pembelajaran dengan penemuan adalah
memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengikuti minat alamiah mereka. Guru
harus mendorong siswa untuk memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya atau
memecahkan sendiri dai dalam kelompoknya, bukan mengajarkan mereka jawaban dari
masalah yang di hadapi tersebut. Siswa akan mendapat keuntungan jika mereka
dapat “melihat” dan “melakukan” sesuatu daripada hanya sekeddar mendengarkan
ceramah. guru dapatmembantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit dengan
bantuan gambar dan demonstrasi. belajar harus fleksibel dan eksploratif ataumelalui
penemuan. jika siswa tampak berusaha menghadapi konsep, berikan mereka untuk
mencoba sendiri untuk memecahkan masalah tersebut sebelum memberikan
pemecahannya. guru juga harus memperhatikan sikap siswa terhada belajar.
menurut bruner, sekolah harus merangsang keinginan anak, meminimalkan resiko
kegagalan dan bertindak serelevan mungkin bagi siswa. berikut ini beberapa
saran tambahan berdasarkan pada pendekatan dalam pengajaran :
1. mendorong siswa mengajukan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan
membibing.
2. gunakan bahan dan ermainan yang bervariasi
3. berikan kesempatan kepada siswa untuk memuaskan keingintahuan mereka,
meskipun jika mereka mengajukan gagasan – gagasan yang tidak berhubungan
langsung dengan pelajaran yang diberikan.
4. gunakan sejumlah contoh yang kontras dengan materi ajar mengenai tpik-topik
terkait (Marzano,
Robert J,
1992).
E.
JENIS-JENIS METODE PENEMUAN (DISCOVERY
)
Moh.
Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery
yang dapat diikuti sebagai berikut :
- Guided
Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh guru. Selain
itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada
siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara petunjuk yang
cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.
2.
Modified
Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya
disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan, kemudian siswa diundang
untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui prosedur
penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan atas
inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru
berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan
untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3.
Free
Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah
siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana memecahkan suatu problema dan telah
memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta telah
melakukan modified
discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus mengidentifikasi
dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.
4.
Invitation
Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan
problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist. Suatu undangan
(invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui pertanyaan
masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk
melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai berikut
: merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol, menentukan
sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
5.
Inquiry
Role Approach
merupakan kegiatan proses belajar yang
melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas empat anggota
untuk memecahkan invitation into inquiry.
Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai
berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses.
6.
Pictorial
Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial
riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk mengembangkan
motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar
atau peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk
meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle
biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari
suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle
itu.
7.
Synectics
Lesson
Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan
siswa untyuk membuat berbagai macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat
membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat
dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan “ikatan struktur
mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga dapat
menunjang timbulnya ide-ide kreatif (Cooney Davis; 1975).
F.
KELEBIHAN METODE PENEMUAN/DISCOVERY :
- Strategi
pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh
guru kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses
mentalnya berkadar rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada
proses pengolahan informasi di mana siswa yang aktif mencari dan mengolah
sendiri informasi yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih
banyak.
- Siswa akan
mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
- Membantu
siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada
siutuasi-situasi proses belajar yang baru.
- Mendorong
siswa untuk berfikur dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
- Memungkinkan
siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar yang tida
hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
- Metode ini
dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga
retensinya 9tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.
7.
Siswa
dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
8.
Menumbuhkan
sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan).
9.
Mendukung
kemampuan problem solving siswa.
10. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan
demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
11. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi
dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya.
12. Siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
13. Belajar menghargai diri sendiri.
14. Memotivasi diri dan lebih mudah untuk mentransfer.
15. Memperkecil atau menghindari menghafal.
16. Siswa bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.
G.
KEKURANGAN METODE PENEMUAN/DISCOVERY :
- Memerlukan
perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru
apa adanya, ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan
mencari dan mengolah informasi sendiri. Mengubah kebiasaan bukanlah
sesuatu yang mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan.
- Guru
dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi
informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam
belajar. Inipun bukan pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum
puas kalau tidak banyak menyajikan informasi (ceramah).
- Metode ini
memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti
menjamin bahwa siswa belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan terarah.
- Cara
belajar siswa dalam metode ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik.
Dalam kondisi siswa banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode
ini sulit terlaksana dengan baik.
5.
Untuk
materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
6.
Tidak
semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa
siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
- Tidak
semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang
berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan.
DAFTAR PUSTAKA
Cooney, Davis; 1975; Dynamics Of Teaching Secondary School
Mathematics; U.S.A; Houghton Mifflin Company
Tim PPPG Matematika; 2006; Model-model Pembelajaran Matematika (
Bahan Diklat Guru Pengembang SMP
); Yogyakarta; PPPG Matematika
Marzano, Robert J; 1992; A Different Kind of Classroom, Teaching
with Dimensions of Learningi;Alexandria.VA : ASCD
Suherman, dkk.
(2001). Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar