Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 April 2013

Subgrup Normal dan Grup Koesien


A.      SUBGRUP NORMAL
Definisi : Subgrup N dari grup G disebut subgrup normal dari G, jika untuk setiap x Î G dan untuk setiap n Î N berlaku: x.n.x-1Î N.
Definisi : Subgrup H dari sebuah grup G disebut subgrup normal dari G jika dan anya jika g-1hgÎH untuk semua gÎG dan hÎH.
Proposisi : Sebarang subgroup dari grup abel adalah normal.
Bukti : jika H adalah subgroup dari grup abel, maka g-1hg= g-1gh=hÎH untuk semua gÎG dan hÎH. jadi, H adalah normal.
Contoh:
1)   Dalam setiap grup G, subgrup trivial {e} dan G sendiri merupakan subgrup normal.
2)   Grup matriks 2x2 bilangan riil dengan determinan = 1, dengan operasi perkalian matriks adalah subgrup normal dari grup matriks 2x2 bilangan riil dengan determinan tak nol, dengan operasi perkalian matriks.
3)   Ambil G=grup non-abelian matriks 2x2 non-singular bilangan riil dengan operasi perkalian matriks. Ambil D = himpunan matriks diagonal 2x2 non-singular bilangan riil dengan operasi perkalian matriks (D adalah subgrup dari G). Tunjukkan bahwa D bukan subgrup normal.
4)   G=grup matriks non-singular 2x2 bilangan riil dengan operasi perkalian matriks. M=himpunan matriks skalar non-singular 2x2 bilangan riil dengan operasi perkalian matriks (M adalah subgrup dari G). M adalah subgrup normal dari G.
5)   Setiap subgrup dari grup abelian adalah normal.



B.       GRUP KOSIEN
Definisi:
1)   Jika G grup dan N subgrup normal dari G, maka himpunan G/N (semua koset
kanan/kiri N dalam G) adalah grup terhadap “perkalian” koset (periksalah). Grup ini disebut grup kuosien atau grup faktor G oleh N.
2)   G/N adalah himpunan semua koset kanan N dalam G.


Minggu, 21 April 2013

Evaluasi Pembelajaran


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
1.    Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, dan menyeluruh, penjaminan dan penetapan kualitas (nilai dan arti) berbagai komponen pembelajaran berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari sebenarnya kita sering membuat suatu kegiatan evaluasi dan selalu menggunakan prinsip mengukur dan menilai. Namun, banyak orang belum memahami secara tepat arti kata evaluasi, pengukuran, dan penilaian bahkan masih banyak orang yang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut dengan suatu pengertian yang sama.
Secara umum orang hanya mengidentikkan kegiatan evaluasi sama dengan menilai, karena aktifitas mengukur biasanya sudah termasuk didalamnya. Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.
2.        Evaluasi dalam Pendidikan
Secara harafiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Evaluasi (Evaluation) adalah Suatu tindakan atau kegiatan yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari pada sesuatu yang berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu atau kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian.
Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives” artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah pemberian nilai terhadap kualitas sesuatu. Selain dari itu, evaluasi juga dapat dipandang sebagai proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Dengan demikian, Evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauhmana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa (Purwanto, 2002).
Berdasarkan tujuannya, terdapat pengertian evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi formatif dinyatakan sebagai upaya untuk memperoleh feedback perbaikan program, sementara itu evaluasi sumatif merupakan upaya menilai manfaat program dan mengambil keputusan (Lehman, 1990).
3.     Penilaian Dalam Pendidikan
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Selain itu juga, Penilaian (Assessment) adalah Proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) hasil belajar peserta didik atau merupakan kegiatan mengambil keputusan untuk menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik buruk dan bersifat kualitatif.
Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai.
4.    Pengukuran dalam pendidikan
Pengukuran (Measurement) adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif atau merupakan suatu proses untuk menentukan kuantitas daripada sesuatu. Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi atau kapasitas biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen. Pengukuran bisa juga di sebut dengan proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk merepresentasikan atribut-atribut konsep. Proses ini seharusnya cukup dimengerti orang walau misalnya definisinya tidak dimengerti. Hal ini karena antara lain kita sering kali melakukan pengukuran.
Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru menaksir prestasi siswa dengan membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati kinerja mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan menggunakan indera mereka seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Arikunto dan Jabar (2004) menyatakan pengertian pengukuran (measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif.
B.       Tujuan Evaluasi Pembelajaran
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk menghimpun informasi yang dijadikan dasar untuk mengetahui taraf kemajuan, perkembangan, dan pencapaian belajar siswa, serta keefektifan pengajaran guru. Evaluasi pembelajaran mencakup kegiatan pengukuran dan penilaian. Bila ditinjau dari tujuannya, evaluasi pembelajaran dibedakan atas evaluasi diagnostik, selektif, penempatan, formatif dan sumatif. Bila ditinjau dari sasarannya, evaluasi pembelajaran dapat dibedakan atas evaluasi konteks, input, proses, hasil dan outcom. Proses evaluasi dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, pengolahan hasil dan pelaporan.
Depdiknas (2003:6) mengemukakan tujuan evaluasi  pembelajaran adalah untuk :
1)      Melihat produktivitas dan efektivitas kegiatan belajar-mengajar, Memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan guru,
2)      Memperbaiki, menyempurnakan dan mengembangkan program belajar-mengajar,
3)      Mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi oleh siswa selama   kegiatanbelajar dan mencarikan jalan keluarnya, dan
4)      Menempatkan siswa dalam situasi belajar-mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang digunakan oleh pendidik.
b.      Mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran.
c.       Mengetahui apakah materi yang di pelajari dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau diulangi.
d.      Untuk mengetahui efektifitas proses pembelajaran yang dilaksanakan.
e.       Untuk mengetahui kesesuaian presepsi dan pemikiran peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran.
f.       Untuk mengetahui apakah komponen-komponen dalam proses pembelajaran sudah memberikan kontribusi positif bagi proses pembelajaran.
g.      Mengetahui sejauh mana perkembangan dari pelaksanaan pembelajaran.
h.      Mengetahui dampak apa yang terjadi dari proses pembelajaran.
i.        Bahan pertimbangan untuk menentuakan proses selanjutnya agar lebih efektif dan efisien.
C.      Fungsi Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi mempunyai fungsi : Kurikuler (alat pengukur ketercapaian tujuan mata pelajaran), instruksional (alat ukur ketercapaian tujuan proses belajar mengajar), diagnostik (mengetahui kelemahan siswa, penyembuhan atau penyelesaian berbagai kesulitan belajar siswa), placement (penempatan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya, serta kemampuannya) dan administratif BP (pendataan berbagai permasalahan yang dihadapi siswa dan alternatif bimbingan dan penyuluhanya).
Bagi pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu
1)      Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah dicapai oleh peserta didiknya.
2)      Memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
3)      Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik
4)      Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya
5)      Memberikan petunjuk tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah ditentukan telah dapat dicapai.
D.      Kegunaan atau manfaat evaluasi pembelajaran
Di antara kegunaan yang dapat dipetik dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
a)      Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pemdidikan.
b)      Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan, dengan tujuan yang hendak dicapai.
c)      Terbukanya kemungkinan untuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan program pendidikan yang dipandang lebih berdaya dan berhasil, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang sebaik-baiknya.

Aliran Filsafat Pendidikan Kontemporer


 
A.    Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme
1.      Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme
Aliran Progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh pada abad 20 ini. Pengaruh itu terasa diseluruh dunia, lebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme. Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal, yakni pandangan hidup yang fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat suatu doktrin tertentu), curious, toleran dan open minded.
Sifat umum aliran progressivisme dapat dikelompokan dalam dua kategori, yakni sifat-sifat negative dan sifat-sifat positif. Sifat negative diartikan bahwa progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk seperti agama, politik, etika dan epistemologi. Sementara positif dalam arti progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia. Kekuatan-kekuatan yang diwarisi manusia dari alam sejak ia lahir. Kekuatan-kekuatan mausia untuk terus menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selalu mengancam.
Progressivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam. Namun ada juga kesangsian, apakah manusia dapat belajar bagaimana menggunakan kesanggupan itu? Meskipun demikian, progressivisme tetap optimis manusia dapat menguasai seluruh lingkungan, lingkungan alam dan lingkungan social melalui proses pendidikan.
Ada tiga cabang besar filsafat, yakni ontologi yang membahas segala sesuatu yang ada dialam semesta, epistemologi yang membahas tentang kebenaran, serta aksiologi yang membahas tentang nilai. Aliran filsafat progressivisme dalam dunia pendidikan juga dapat dilihat dari sudut pandang ontologi, epstemologi dan aksiologi.
  1. Pandangan Ontologi
Alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman manusia hidup dalam alam semesta adalah sumber evolusi, yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak, mulai dari yang sederhana/mudah menerobos yang kompleks/sulit dan membutuhkan proses yang memakan waktu lama.
  1. Pandangan Epistemologi
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hokum, prinsip, proses kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan diperolh manusia baik secara langsung melalui kontak dengan segala realita dalam kehidupannya, maupun secara tidak langsung melalui catatan. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktek, maka makin besar persiapan kita menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru dalam lingkungan.
  1. Pandangan Aksiologi
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan individu-individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukan kecocokan dengan pengujian yang dialami manusia dalam pergaulannya.
2.      Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme
Dibawah ini dibahas beberapa prinsip aliran filsafat progressivisme :
·   Menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk seperti agama, politik, etika dan epitemologi.
·   Menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia. Kekuatan-kekuatan yang diwarisi manusia dari alam sejak lahir.
·   Manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia-rahasia alam, Sifat utama dari realita adalah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, kecuali atas perubahan itu sendiri.
·   Pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan, yang dapat dipelajari dengan kekuatan intelek. Pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan yang lebih baik.
·   Kebenaran dan norma tidak bersifat mutlak, melainkan relatif tergantung waktu dan tempat.
·   Pengalaman dan pemecahan masalah dalam kehidupan dilakukan secara eksperimental.
·   Alam dan masyarakat selalu dinamis, selalu ada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tidak ada hentinya.
·   Percaya akan demokrasi dan penolakan terhadap dogmatisme.
·   Pikiran harus selalu “bekerja”, untuk memberikan pengalaman yang baik. Manusia harus selalu berbuat, perasaan dan jasmaniah adalah manifestasi dari kegiatan berpikiran yang tak terpisahkan.
·   Pendidikan harus konkrit, baik teori maupun praktek.
3.      Penerapan Konsep Aliran Filsafat Progressivisme dalam Sistem Pendidikan
Konsep aliran filsafat progressivisme yang diuraikan di atas, pada prinsipnya dapat diterapkan pada sistem pendidikan yang selama ini cenderung mengikuti paradigma lama yang cenderung kaku, “alergi” adanya inovasi, guru mendominasi dan iklim kelas yang kurang demokratis sehingga tidak memungkinan peserta didik dapat belajar optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam sistem pendidikan konsep progressivisme sudah diterapkan sejak lama lama namun tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan mengingat kondisi yang tidak kondisif dan terbatas serta tidak meratanya kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana. Tujuan pendidikan nasional yang diejawantahkan dalam tujuan institusional, kurikuler dan instruksional masih cenderung berorientasi akademik intelektual sehingga kehidupan social yang demokratis masih belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Prasarana sarana pendukung yang belum mamadai mengakibatkan jumlah kelas yang besar dengan satu orang pendidik membuat prinsip-prinsip progressivisme tentang pembelajaran partisifatif tidak dapat dijalankan dengan sempurna.
Model pembelajaran kontekstual dan kooperatif sebagai contoh model pembelajaran yang lahir dari aliran filsafat progressivisme yang mengutamkan kerjasama dalam kelompok kecil dan prasarana sarana belajar byang komprehensif bukan hanya di dalam kelas namun juga di luar kelas tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena tidak didukung biaya, prasaran sarana yang memadai serta besarnya jumlah siswa yang harus ditangani seorang pendidik dalam satu kelas. Padahal dalam beberapa studi kasus aplikasi model-model pembelajaran yang didasarkan filsafat progressivisme ini menunjukan hasil yang berdampak positif bagi peserta didik baik secara akademik maupun sosial.
B.     Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme
1.      Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme
Perennialisme dengan kata dasarnya perennial yang berarti abadi atau kekal yang terus ada tanpa akhir. Dalam pengertiannya dapat dikatakan bahwa tradisi dipandang sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah anugrah Tuhan pada semua manusia dan merupakan hakikat insaniah manusia. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan krisis ini, maka perennialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, perennialisme berkembang dalam dua sayap yang berbeda, yaitu dari golongan teologis yang ingin menegakkan supremasi ajaran agama, dan dari kelompok yang skuler yang berpegang teguh dengan ajaran filsafat Plato dan Aristoteles.
Filsafat perennialisme mengandung makna bahwa aliran filsafat ini berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Tujuan filsafat perennialisme adalah mengembangkan pengetahuan yang bersifat abadi, universal dan absolute. Pada abad ke 19 Amerika banyak menganut aliran ini, dan pada tingkat sekolah dasar kurikulumnya menekankan pada moral dan agama, pada level middle school kurikulum penekanannya pada mata pelajaran latin, Yunani dan geometri.
Berkaiatan dengan tokoh filsafat perennialisme, jalaludin menuliskan Plato mengatakan hakekat ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hokum universal yang abadi dan sempurna, kemudian Aristoteles mengatakan oleh karenanya tujuan pendidikan adalah menuju pada “kebahagiaan”, maka aspek-aspek jasmani, emosi dan intelektual perlu dikembangkan secara seimbang. Pendapat tersebut kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah usaha untuk menunjukan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, hal ini diperkuat oleh pernyataan Robert Hutchin, bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkal akal budi supaya anak didik hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan itu sendiri.
  1. Pandangan Ontologi
Segala apa yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah potensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semuanya dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak menuju tujuan untuk mendekatkan diri pada sepernaturalis yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.
  1. Pandangan Epistemologi
Filsafat perennialisme memberikan pengetahuan untuk membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki yang universal dan konstan, kebenaran hanya dapat dicapai dengan baik melalui latihan intelektual secara  cermat untuk melatih pikiran dan latihan karakter untuk mengembangkan manusia spiritual, dengan menggunakan metode pendidikan latihan mental dalam bentuk diskusi, analisis melalui membaca buku-buku karya  besar dan sumber-sumber buku lainnya.
  1. Pandangan Aksiologi
Perennialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas supernatular. Nilai-nilai merupakan manifestasi dari hokum universal yang abadi dan sempurna, sehingga ketertiban sosial hanya aka mungkin bila ide tersebut menjadi ukuran, asas normative alam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikannya adalah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekan asas-asas normatif dalam semua aspek kehidupan dengan orientasi memandang kenyataan sebagai sebuah dunia akan pikiran an Tuhan, pengetahuan yang benar diperoleh melalui berfikir dan keimanan dan kebaiakan berdasarkan perbuatan rasional.
2.      Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme
Di bawah ini dibahas beberapa prinsip aliran filsafat pendidikan perennialisme  :
·   Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hokum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban sosial hanya mungkin bila ide itu mejadi ukuran, asas normative dalam tata pemerintahan.
·   Orientasi pendidikan perennialisme adalah pada dasarnya memandang kenyataan sebagai sebuah dunia akan pikiran dan Tuhan.
·   Pengetahuan yang benar diperoleh melalui berfikir dan keimanan.
·   Kebaikan berdasarkan perbuatan rasional.
·   Membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki yang universal dan konstan.
·   Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai dengan baik melalui latihan intelektual dan karakter.
·   Metode pendidikan adalah latihan mental dalam bentuk diskusi.
3.      Penerapan Konsep Aliran Filsafat Perennialisme dalam Sistem Pendidikan
Lahirnya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta berbagai Peraturan Pemerintahnya, serta kebijakan-kebijakan lainnya dalam dunia pendidikan di Indonesia yang menyeragamkan sistem, isi, kurikulum berbagai jenis dan jalur pendidikan merupakan gambaran implementasi nilai-nilai filsafat perennialisme dalam sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum yang meneankan subjek akademik merupakan kurikulum nasional tradisional konservatif yang sudah diterapkan sejak masa colonial penjajah Belanda samapai saat ini. Penekanan pada pendidikan intelektual menjadi gambaran khas pendidikan dan kurikulum nasional. Cerminan ini akhir-akhir ini juga menjadi polemic hangat dengan adanya Ujian Akhir Nasional yang menentukan berhasil tidaknya seorang peserta didik dalam menempuh proses pendidikannya.
Tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa serta menjadikan menusia Indonesia sebagai manusia yang utuh berdasarkan Pancasila juga tidak mengandung nilai-nilai yang tidak berbeda dengan apa yang menjadi tujuan aliran filsafat pendidikan perennialisme yang pada intinya ingin menjadikan manusia sebagai makhluk yang bahagia lahir dan batin dengan mengutamakan pengembangan kemampuan akal piker peserta didik di atas alam biologisnya.
Pendekatan pembelajaran pada penguasaan materi, dengan metode ekspositori dan inquiry malahan mendominasi dunia pendidikan nasional. Dominasi ini pada akhirnya terasa meminggirkan pengembangan aspek sosial kemasyarakatan sebagai salah satu aspek yang kemudian disadari, diperbaiki dan dikembangkan aliran perennialisme.


C.    Aliran Filsafat Pendidikan Essensialisme
1.      Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Essensialisme
Essensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia. essensialis memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh dengan fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaiatan dengan doktrin tertentu. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak essensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung essensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen aliran essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangan idealisme modern pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Cirri dari kedua aliran ini adalah alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan ini tidan hanya sebagai hasil tinjauan sepihak, berarti bukan hanya dari subjek atau objek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
a.       Pandangan Ontologi
Dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya yang tiada cela pula. Bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Pribadi yang dibentuk adalah pribadi yang bahagia di dunia akhirat.
b.      Pandangan Epistemologi
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi essensialisme. Apabila manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah manusia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial dan agama.
c.       Pandangan Aksiologi
Nilai-nilai dalam aliran essensialisme berasal dan bergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Menurut idealisme hokum-hukum etika adalah hokum kosmos, karena itu seseorang dapat dikatakan baik jika banyak interaktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana formal tenang, haruslah bersikap formal teratur.
Sementara prinsip realis tentang etika adalah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Masalah baik buruk realisme bersandar pada keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling berhubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungannya.
2.      Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Pendidikan Essensialisme
Prinsip pokok dari aliran essensialisme dalam sejarah perkembangannya menerapkan berbagai pola idealisme dan realisme sebagai berikut :
·   Realisme yang mendukung essensialisme disebut realisme objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dar fisika dan ilmu pengetahuan lain yang sejenis. Aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang berjalan khusus. Suatu kejadian yang paling sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam diantaranya daya tarik bumi. Sedangkan ilmu-ilmu lain mengembangkan teori mekanisme, dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat.
·   Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmis yang lenih optimis. Pandangan-pandangan realisme objektif bersifat menyeluruh dan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah iwa tau spirit. Idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata.
3.      Penerapan Konsep Aliran Filsafat Essensialisme dalam Sistem Pendidikan
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri. Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas.
Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
D.    Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
1.      Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak moderen. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekaran merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki aliran rekonstruksionisme tidak sama dengan perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan masalah yang akan ditempuh untuk megembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran rekonstruksionisme menempuh dengan jalan berupaya membina consensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme adalah aliran pendidikan yang berorientasi pada massyarakat yang lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat menghadapi sejumlah masalah masalah yang membingungkan yang menuntut adanya rekostruksi terhadap semua sistem nilai yang ada.
a.       Pandangan Ontologi
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia seperti hewan dan tumbuhan atau benda lain di sekeliling kita.
b.      Pandangan Epistemologi
Kajian epistemologi aliran ini lebih merujuk pada aliran pragmatisme dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam semesta memerlukan suatu asas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pegetahuan dan akal yang dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan yang sesungguhnya.
c.       Pandangan Aksiologi
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahui.
2.      Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Aliran filsafat rekonstruksionisme memilki dua premis utama,
·   Masyarakat membutuhkan rekonstruksi atau perubahan yang terus menerus.
·   Perubahan masyarakat tersebut mencakup rekonsruksi pendidikan dan penggunaan pendidikan dalam rekonstruksi masyarakat.
3.      Penerapan Konsep Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Sistem Pendidikan
Nilai-nilai dasar dari filsafat rekonstruksionisme sebenarnya sudah ada penerapannya dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kalau dilihat indikator perkembangan Sisdiknas, khususnya popularisasi pendidikan, maka paradigma Sisdiknas bahwa (Tilaar, 2000 : 81) :
Ø  Peningkatan pendidikan merupakan pemutusan mata rantai kemiskinan
Ø  Mempercepat terpenuhinya pendidikan sekolah dasar untuk semua anak usia sekolah dasar.
Ø  Merintis pelaksanaan wajib belajar 9 tahun untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat.
Paradigma di atas mencerminkan adanya nilai-nilai filsafat rekonstruksi sosial dalam Sisdiknas. Hanya saja hasil yang dicapai menunjukan bahwa meningkatnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk ternyata tidak dengan sendirinya menurunkan angka kemiskinan pada bangsa Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa tersebut, termasuk aspek di bidang pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa, sedangkan pendidikan merupakan sutau cara atau mekanisme dalam menanamkan atau mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri.
Untuk menjamin agar pendidikan itu prosesnya efektif, maka dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas normative dan pedoman pelaksanaan pembinaan. Telah disebutkan beberapa aliran-aliran filsafat pendidikan kontemporer yang berkaitan dengan sistem pendidikan di Indonesia, diantaranya progressivisme, perenialisme, essensialisme dan rekonsruksionisme.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Bakker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia
Golshani, Mehdi. 2003. Filsafat Sains Menurut Al Quran. Bandung : Mizan
Noor Syam, Muhammad. 1986. Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pancasila. Surabaya : Usaha Nasional