Total Tayangan Halaman

Rabu, 10 April 2013

Problem Sosiologi Sekolah


BAB I
PENDAHULUAN

Tidak semuanya di dalam kehidupan masyarakat atau lebih khususnya lagi interaksi sosial di lingkungan sekolah berlangsung secara normal artinya sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat atau personal sekolah seperti siswa, guru, kepala sekolah dan karyawan lainnya. Gejala-gejala yang tidak dikehendaki tersebut merupakan gejala-gejala abnormal. Hal itu disebabkan karena unsur-unsur tertentu dari lingkungan sekolah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan atau problematika sosiologi bagi siswa. Gejala abnormal tersebut dinamakan problem sosial. Problem sosial tersebut berbeda dengan problem-problem lainnya di masyarakat, oleh karena problem-problem sosial tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai moral dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sudah bertubi-tubi dunia pendidikan di negeri ini menuai kritikan tajam dari para pakar, pengamat, dan pemerhati pendidikan. Salah satu persoalan mendasar yang gencar dikritik adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas sosial yang seharusnya menjadi persoalan inheren yang mengakar dan membudaya dalam ranah dunia pendidikan kita. Proses pendidikan yang terjadi di dunia persekolahan tidak lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdayaan, tetapi justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.
Kemajuan dan perkembangan pendidikan menjadi fakta penentu keberhasilan suatu bangsa, beberapa indikasi dapat dilihat dari kemajuan dunia Barat seperti Amerika dan Eropa yang selama ini menjadi anutan setiap berbicara masalah pendidikan. Hal ini ditengarai dari berbagai data yang selalu memberikan informasi tentang keunggulan di bidang pendidikan seperti model pembelajaran, hasil-hasil penelitian, produk-produk lulusan dan lain sebaginya. Kemajuan negara Amerika dan Eropa di bidang pendidikan tersebut menjadi barometer bahkan rujukan negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka tahun 1945,  para pendiri negara telah mencanangkan cita-cita pendidikan nasional yang teramat luhur yakni menciptakan pendidikan nasional yang berkualitas dan demokratis, dengan berbagai indikator seperti, mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata kehidupan internasional modern. Namun diusia Indonesia yang ke 62 tahun pembangunan pendidikan masih memprihatinkan. Dari 106 negara, Indonesia berada di urutan ke 102. kualitas pendidikan belum menggembirakan. Mutu pendidikan Indonesia ketinggalan jauh, dibanding dengan negara-negara tetangga. Merosotnya mutu pendidikan tidak terlepas dari beberapa problematika sosiologi yang terjadi di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.
Adapun contoh problematika sosiologi di sekolah seperti aksi kekerasan oleh pelajar (siswa dan mahasiswa) yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bukan hanya materi yang hilang, nyawa pun melayang. Fenomena  menyimpang ini membuat kita resah sekaligus bertanya-tanya. Masalah apa yang membuat anak-anak bangsa  yang mengaku agen perubahan  menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka belajar nilai-nilai moral dan religius? Bukankah mereka juga yang menyebut dirinya sebagai generasi masa depan bangsa? 
Masalah kekerasan di lembaga pendidikan dewasa ini merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, penyelesainnya harus dikembalikan kepada lembaga yang memegang “tanggung jawab sosial”. Keluarga, sekolah dan masyarakat harus memegang peranan aktif. Keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama harus mampu mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur.  Pola asuh orang tua dengan pendekatan kasih sayang harus mampu mengajarkan cara hidup bersama.  
Dan sekolah sebagai institusi pendidikan formal dituntut tanggap dan cekatan dalam melakukan redefinisi pembelajaran nilai-nilai moral dan religius. Pendidikan moral bukan hanya sebagai rutinitas dan pemenuhan kewajiban kurikulum. Pembelajaran moral dan religius harus menanamkan kesadaran untuk menghargai keberadaan dan menumbuhkan sikap toleransi. Dari sisi religius, pemahaman tentang agama tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi nilai-nilai agama harus dapat diimpelementasikan dalam realitas kehidupan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Problematika Sosiologi
Secara selintas sosialisasi yang dilakukan dengan baik akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi pendidikan, secara singkat dapat dikatakan, bahwa sosialisasi ialah proses membimbing individu ke dalam dunia sosial. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu pada kebudayaan yang harus dimiliki dan harus diikutinya, agar dia menjadi anggota masyarakat yang baik termasuk juga dalam berbagai kelompok khusus. Jadi sosialisasi juga dapat dianggap sebagai pendidikan atau memanusiakan diri.
Dalam proses sosialisasi bisa terjadi kendala atau hambatan hal ini karena, terjadinya kesulitan komunikasi dan adanya pola kelakuan yang berbeda-beda atau bertentangan di antara kelompok. Dimana suatu proses seseorang menghayati norma kelompoknya merupakan suatu proses sosialisasi.[1] Pernyataan di atas merupakan suatu definisi dari problematika sosiologi.

B.     Problematika Sosiologi di Sekolah
Setelah masuk sekolah anak harus dapat menyusuaikan diri dengan kondisi serta aturan-aturan sekolah yang berlaku dan formatif. Tidak sedikit anak-anak pada masa awal sekolah menangis karena belum dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru.misalnya anak ketika masih di rumah mendapat perhatian dari beberapa orang misalnya oleh orang tuanya, nenek, kakek dan yang lainnya sedangkan di sekolah guru harus memperhatikan anak-anak dalam satu kelas untuk itulah sosialisasi di sekolah harus dilakukan oleh anak, disamping guru juga harus menyusuaikan diri dengan tuntutan / kondisi di sekolah.
Di kota- kota besar, di mana orang tua banyak di sibukkan oleh kegiatan di luar rumah, seperti suami dan istri bekerja semua sehingga anak-anaknya terpaksa tidak ada yang mengasuh maka sekolah pun dapat berfungsi sebagai tempat penitipan anak. Namun, di sisi lain sekolah justru mampunyai peranan yang lebih penting yaitu sebagai tempat bersosialisasi bagi anak-anak ataupun remaja. Dan tujuan utama dari sosialisasi ini tidak lain adalah agar peserta didiknya menjadi anggota masyarakat yang baik sesuai harapan masyarakat, karena peranan yang dilakukan sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat senantiasa berinteraksi dengan masyarakat.
Jika kita melihat tujuan ini, maka sosialisasi di sekolah ini harus dilakukan, namun tetap saja dalam mencapai sebuah tujuan bukanlah hal yang mudah, apalagi di sekolah yang mencakup berbagai macam karakter siswa yang ada berbeda-beda. Dan bahkan mungkin yang timbul justru masalah-masalah sosial di sekolah. Masalah-masalah sosial di sekolah ini banyak sekali bentuknya, dan bisa di timbulkan oleh berbagai faktor. Dan adapun masalah-masalah itu misalnya,
  1. Masalah anak yang sering membolos
Anak-anak yang sering melakukan tindakan “mambolos” yang kemungkinan besar semua ini terjadi karena si anak ketidak mampuan bersosiaslisasi dengan teman-teman di sekolahnya, atau mungkin juga karena ia tidak menyenangi pelajarannya. Bahkan mungkin juga karena ia tertekan dengan keadaan keluarganya, misalnya kedua orang tuanya sibuk, sehingga ia merasa kesepian, merasa tidak ada yang memperhatikan, dan tentunya kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya, sehingga melakukan hal yang demikian.
Dan jika si anak terus-menerus melakukan hal yang demikian, maka pihak sekolah akan mengambil tindakan tegas, misalnya yaitu dengan mengeluarkan anak dari sekolah, sehingga anak tersebut putus sekolah (drop out), karena tentunya jika anak seperti ini tidak di tindak tegas maka akan memberi pengaruh buruk terhadap siswa yang lain.
  1. Masalah putus sekolah ( Drop Out )
Banyak pakar pendidikan yang menyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih menunjukan kekurangefesienan. Hal ini nampak pada antara lain dari jumlah peserta didik yang mengalami putus sekolah, banyaknya peserta didik yang kurang mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan minat, bakat, aspirasi dan kondisi sosial ekonominya.[2]
Putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-harinya.[3] Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rendah diri. Bila menimbulkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang positif.
3.   Kenakalan anak atau  remaja di sekolah.
Masalah kenakalan anak sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan kemungkinan “gap generation” sebab anak-anak yang diharapkan sebagai kader-kader penerus serta calon-calon pemimpin bangsa banyak tergelincir kedalam penyimpangan. Untuk itu upaya-upaya menangkal secara bijak tepat dan efesien merupakan topik pembahasan agar memperoleh tambahan masukan untuk menghasilkan terapi yang semakin akurat bagi para pendidik khususnya dan pemuka masyarakat umumnya dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui ilmu-ilmu yang memajukan sehingga mencapai kemanusiaannya yang sesungguhnya.[4]

C.    Faktor Problematika Sosiologi di Sekolah
Fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang,  penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh subur dan melembaga. Mereka mungkin juga lupa bahwa kita adalah manusia yang hadir dengan aneka perbedaan, bermacam-macam warna, dan banyak kepentingan. Kekerasan di lembaga pendidikan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Akar masalahnya harus segera ditemukan untuk dijadikan brainstorming[5] dalam rangka mencari pemecahan masalah. 
Ada sejumlah problem sosial  di sekolah yang melatarbelakangi seringnya terjadi tindakan kekerasan dewasa ini. Pertama, aksi kekerasan pelajar merupakan refleksi kehidupan sosial bangsa saat ini.[6] Bukankah konflik terus berkecamuk dalam keseharian kita. Konflik antar anggota masyarakat maupun konflik antar elit politik. Hampir setiap saat kita disuguhi  pengalaman hidup yang mengerikan seperti merusak ataupun membakar. Masyarakat kita, termasuk pelajar tumbuh dalam arena kekerasan. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahannya.  Kedua, kegagalan institusi pendidikan membentuk generasi yang berakhlak mulia. Keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai instituĂ­s pendidikan memegang peranan untuk menciptakan generasi yang memiliki social intelligence.[7] Ketiga, merosotnya nilai-nilai kemanusian. Kekerasan mengindikasikan menurunnya pemahaman akan nilai-nilai kemanusian dalam diri masyarakat. Perasaan halus, keluhuran budi, dan kesantuan dikuasai oleh nafsu dan emosi.  Keterasingan dari nilai kemanusian menyebabkan susahnya melahirkan solidaritas dan relationship yang kokoh.[8] Padahal, pendidikan  merupakan usaha untuk membangun power with.[9]
Secara fenomenologis tampak bahwa gejala kenakalan timbul dalam masa pubertas atau pancaroba dimana jiwa dalam keadaan labil, sehinggan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang anak tidak tiba-tiba menjadi nakal, tetapi menjadi nakal karena beberapa saat setelah dibentuk oleh lingkungannya.( keluarga, sekolah, masyarakat ), gejala tingkah laku anak yang memperlihatkan atau menjurus pada perbuataan kenakalan harus dapat dideteksi sedini mungkin sebab bila tingkah lakunya telah melewati batas, maka akhirnya anak tidak mampu lagi menghadapi dirinya sendiri dalam hidup bermasyarakat yang sehat adapun gejala-gejala yang mengarah kepada perbuatan kenakalan antara lain :
1. Anak-anak yang sering menghindarkan dari tanggung jawab di sekolah / rumah. Hal ini biasanya disebabkan karena anak tidak menyenangi pekerjaan yang ditugaskan kepadanya sehingga ia akan menjauhkan diri dari kesibukan-kesibukan sekolah dan mencari kesibukan lain yang tidak terbimbing atau terawasi.
2. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian / konsentrasi mereka karena adanya koncangan emosi pada dirinya
3. Anak yang sering menyakiti dan mengganggu teman-temannya baik di rumah maupun disekolah
4. Anak yang suka membolos karena malas belajar atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu.
Adapun beberapa penyebab utama terjadinya masalah-masalah sosiologi di sekolah diantaranya,
  1. Lingkungan keluarga yang pecah, kurang perhatian, kurang kasih sayang, karena masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing.
  2. Situasi sekolah yang menjemukan dan membosankan, padahal harusnya sekolah menjadi faktor penting untuk mencegah kenakalan bagi anak-anak.
  3. Lingkungan masyarakat yang tidak / kurang menentu bagi prospek kehidupan masa mendatang.

D.    Pemecahan Terhadap Problematika Sosiologi di Sekolah

1.   Pendekatan disiplin dan bimbingan

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.[10]
Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
2.   Penanganan masalah putus sekolah
Masalah putus sekolah bisa menimbulkan ekses dalam masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas kita semua khususnya melalui strategi dan pemikiran-pemikiran sosiologi pendidikan sehingga para putus sekolah tidak mengganggu kesejahteraan sosial. Dalam mengatasi hal ini sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu :
a.       Langkah preventif yaitu dengan cara membekali para peserta didik dengan keterampilan-keterampilan praktis dan bermanfaat sejak dini agar kelak bila diperlukan dapat merespons tantangan-tantangan hidup dalam masyarakat secara positif, sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi parasit atau tidak menjadi beban masyarakat.
b.      Langkah pembinaan yaitu dengan cara memberikan pengetahuan –pengetahuan praktis yang mengikuti perkembangan atau pembaharuan zaman melalui bimbingan dan latihan-latihan dalam lembaga-lembaga sosial  atau pendidikan luar sekolah.
c.       Langkah tindak lanjut yaitu dengan nmemberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk terus melangkah maju melalui penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa mengada-ada ,termasuk membina hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih luas dalam masyarakat.[11]
3.   Home Visit
Program pembimbingan siswa melalui kunjungan rumah tidak jarang manajemen sekolah menghadapi suatu masalah rumit yang berhubungan dengan tingkah laku siswanya, tingkah laku gurunya ataupun stafnya di sekolah. Kadang masalah yang sederhana kelihatannya remeh akan menjadi masalah rumit manakala manajemen sekolah tersebut tidak cepat segera mengatasi secara tuntas. Interaksi yang terjadi di sekolah antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, guru dengan staf, dan antar staf di sekolah terkadang memunculkan suatu permasalah rumit yang harus dihadapi pihak manajemen sekolah. Bentuk permasalahan itu bisa bermacam-macam, seperti masalah kinerja, kekompakan, kerukunan antar pegawai, masalah kesejahteraan, iklim, budaya sekolah, dan masalah belajar pembelajaran siswa di sekolah.[12]
 Komunikasi langsung dengan orang tua dapat dibangun dengan baik dan harmonis melalui Home Visit. Di sini guru diminta keiklasannya untuk bisa menyisihkan waktu dan tenaganya di luar tugas utamanya mengajar di kelas. Home Visit merupakan salah satu cara membantu, menolong dan memberi bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar dan masalah pribadi siswa Home Visit ini banyak sekali manfaatnya jika dimengerti benar-benar maksud serta dikuasai teknik-teknik yang diperlukan.
Home Visit banyak sekali tujuan atau maksudnya antara lain untuk mendapatkan data atau informasi yang lengkap dan konkrit tentang keadaan siswa yang bersangkutan, dan memberitahukan secara langsung kepada pihak keluarga yang bersangkutan. Kegiatan dalam HV dapat berbentuk pengamatan dan wawancara, terutama tentang kondisi rumah tangga, fasilitas belajar, dan hubungan antar anggota keluarga dalam kaitannya dengan permasalahan siswa. Masalah siswa yang dibahas dapat berupa bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan bidang bimbingan karier.
Sebelum mengadakan Home Visit perlu persiapan-persiapan yang cukup matang, perencanaan, pengadministrasian Secara umum persiapan yang perlu dilakukan pertama menentukan tujuan H V tersebut dengan jelas. Rencana Home Visit ini perlu dirundingkan dengan guru-guru lain semisal Guru Rumpun dan Kepala Sekolah. Kedua Pelajari keadaan keluarga yang akan dikunjungi, melalui informasi- informasi yang ada. Informasi primer bisa didapat dari catatan yang ada disekolah, jika informasi dirasa belum cukup bisa mencari informasi melalui sumber-sumber lain, guru, teman kerja ataupun tetangga calon keluarga yang akan di kunjungi. Ketiga mempersiapkan materi atau bahan yang akan dibicarakan dan ditanyakan. Tulislah materi pokok yang akan ditanyakan secara sitematis, sehingga dalam Home Visit nantinya tidak kehilangan arah pembicaraan. Sesuaikan bahan yang akan dibicarakan dengan tujuan Home Visit. Keempat mempersiapkan bagaimana cara menulis atau mencatat hal-hal yang akan diperoleh. Pertimbangkan apakah perlu mencatat data pada saat Home Visit atau data itu dicatat setelah selesai Home Visit. Jangan lupa memberitahukan kepada keluarga yang bersangkutan, sebelum mengadakan Home Visit. Usahakan pemberitahuan ini melalui surat resmi dari sekolah.


BAB III
PENUTUP

Problematika sosiologi dalam lingkungan sekolah merupakan hal yang wajar. Seperti yang telah disebutkan bahwa suatu problem khususnya di sekolah merupakan suatu gejala abnormal yang diakibatkan unsur-unsur yang berhubungan dengan lingkungan sekolah tidak bejalan atau berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti halnya masalah interaksi antara guru dan muridnya yang kurang harmonis, atau hubungan siswa yang satu dengan siswa yang lainnya  yang selalu berbeda pendapat. Tidak semua problem seorang siswa dikarenakan oleh lingkungan sekolah yang kurang efektif dalam memberikan arahan kepada siswanya. Namun, keadaan lingkungan keluarga yang kurang bersosialisasi antara anggota keluarganya pun dapat mempengaruhi terjadinya masalah-masalah pada siswa.
Pihak sekolah harus bertanggung jawab penuh atas apa yang dialami oleh siswanya. Tidaka hanya itu, sekolah pun membutuhkan kerjasamanya dengan pihak keluarga maupun masyarakat luas untuk bersama memecahkan problem-problem sosiologi yang dialami oleh para remaja sekolah.
Pendekatan disiplin dan pendekatan konseling bagi siswa yang bermasalah merupakan salah satu solusi untuk memecahkan masalah remaja sekolah. Tidak hanya itu, ada suatu metode untuk membantu atau mencegah terjadinya kenakalan remaja atau problematika sosiologi di sekolah yakni, dengan kunjungan rumah yang dilakukan oleh para pendidik atau yang lebih populer disebut dengan home visit.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Ary H. 2000. Soiologi Pendidikan : Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Paterson, Kathy. 2007. 55 Teaching Dilemmas : 55 Dilema dalam Pengajaran (Sepuluh Solusi Terpilih untuk Menjawab Tantangan di Kelas). Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Satmoko, Retno. 1995. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
http://massofa.wordpress.com/2008/04/30/403/

 




[1] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1996, hlm. 115.
[2] Retno S. Satmoko, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995, hlm. 203.
[3] Ary H. Gunawan, Soiologi Pendidikan : Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, hlm. 71.
[4] Ibid. hlm. 88.
[5] Ilham atau petunjuk yang menggerakan hati sebagai patokan untuk mencari solusi atau penyelesaian atas terjadinya problematika.
[6] Kekerasan di lembaga pendidikan merupakan refleksi ketidakmampuan generasi kita untuk menyadari dirinya dan memahami orang lain. Egoisme untuk selalu “dipahami” lebih dominan ketimbang ketulusan untuk “menyadari” keberadaan dan kebutuhan orang lain. Kesadaran untuk “mengerti” tenggelam oleh keinginan untuk selalu “dimengerti”.  Inti pendidikan adalah penyadaran diri peserta didik kepada dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat.
[7] Kecerdasan sosial atau social intelligence dalam arti kemampuan untuk membawa diri dalam lingkungan pergaulan yang luas, menjalin interaksi secara komunikatif, memahami adanya perbedaan, dan memiliki rasa peka terhadap sesama.
[8] http://sultanhabnoer.wordpress.com/2007/07/03/kekerasan-di-lembaga-pendidikan-sebagai-bagian-problem-sosial/
[9] Menurut Dr. Sastraprateja  pendidikan  merupakan usaha untuk membangun power with (kekuatan bersama), yaitu kemampuan peserta didik membangun solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan yang sama untuk memecahkan permasalahan.
[10] http://www.psb-psma.org/blogs/akhmadsudrajat
[11] Ary H. Gunawan, op. cit., hlm. 72.
[12] http://massofa.wordpress.com/2008/04/30/403/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar