BAB I
PENDAHULUAN
Tidak semuanya di dalam kehidupan masyarakat atau lebih khususnya lagi
interaksi sosial di lingkungan sekolah berlangsung secara normal artinya
sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat atau personal sekolah seperti siswa,
guru, kepala sekolah dan karyawan lainnya. Gejala-gejala yang tidak dikehendaki
tersebut merupakan gejala-gejala abnormal. Hal itu disebabkan karena
unsur-unsur tertentu dari lingkungan sekolah tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan atau problematika
sosiologi bagi siswa. Gejala abnormal tersebut dinamakan problem sosial.
Problem sosial tersebut berbeda dengan problem-problem lainnya di masyarakat,
oleh karena problem-problem sosial tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai
moral dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sudah bertubi-tubi
dunia pendidikan di negeri ini menuai kritikan tajam dari para pakar, pengamat,
dan pemerhati pendidikan. Salah satu persoalan mendasar yang gencar dikritik
adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas sosial yang seharusnya
menjadi persoalan inheren yang mengakar dan membudaya dalam ranah dunia
pendidikan kita. Proses pendidikan yang terjadi di dunia persekolahan tidak
lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdayaan, tetapi
justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal
melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur,
berkarakter, demokratis, dan responsif.
Kemajuan
dan perkembangan pendidikan menjadi fakta penentu keberhasilan suatu bangsa,
beberapa indikasi dapat dilihat dari kemajuan dunia Barat seperti Amerika dan
Eropa yang selama ini menjadi anutan setiap berbicara masalah pendidikan. Hal
ini ditengarai dari berbagai data yang selalu memberikan informasi tentang
keunggulan di bidang pendidikan seperti model pembelajaran, hasil-hasil
penelitian, produk-produk lulusan dan lain sebaginya. Kemajuan negara Amerika
dan Eropa di bidang pendidikan tersebut menjadi barometer bahkan rujukan
negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Beberapa tahun setelah Indonesia
merdeka tahun 1945, para pendiri negara
telah mencanangkan cita-cita pendidikan nasional yang teramat luhur yakni
menciptakan pendidikan nasional yang berkualitas dan demokratis, dengan berbagai
indikator seperti, mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata
kehidupan internasional modern. Namun diusia Indonesia yang ke 62 tahun
pembangunan pendidikan masih memprihatinkan. Dari 106 negara, Indonesia berada di urutan ke 102.
kualitas pendidikan belum menggembirakan. Mutu pendidikan Indonesia ketinggalan jauh,
dibanding dengan negara-negara tetangga. Merosotnya mutu pendidikan tidak
terlepas dari beberapa problematika sosiologi yang terjadi di lingkungan
lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.
Adapun contoh problematika sosiologi di sekolah seperti aksi
kekerasan oleh pelajar (siswa dan mahasiswa) yang telah menimbulkan kerugian
yang sangat besar. Bukan hanya materi yang hilang, nyawa pun melayang.
Fenomena menyimpang ini membuat kita resah sekaligus bertanya-tanya.
Masalah apa yang membuat anak-anak bangsa yang mengaku agen perubahan
menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka belajar
nilai-nilai moral dan religius? Bukankah mereka juga yang menyebut dirinya sebagai
generasi masa depan bangsa?
Masalah kekerasan di lembaga pendidikan dewasa ini merupakan
masalah sosial. Oleh karena itu, penyelesainnya harus dikembalikan kepada
lembaga yang memegang “tanggung jawab sosial”. Keluarga, sekolah dan masyarakat
harus memegang peranan aktif. Keluarga sebagai institusi pendidikan yang
pertama dan utama harus mampu mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi
pekerti luhur. Pola asuh orang tua dengan pendekatan kasih sayang harus
mampu mengajarkan cara hidup bersama.
Dan sekolah sebagai institusi pendidikan formal dituntut
tanggap dan cekatan dalam melakukan redefinisi pembelajaran nilai-nilai moral
dan religius. Pendidikan moral bukan hanya sebagai rutinitas dan pemenuhan
kewajiban kurikulum. Pembelajaran moral dan religius harus menanamkan kesadaran
untuk menghargai keberadaan dan menumbuhkan sikap toleransi. Dari sisi
religius, pemahaman tentang agama tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka,
tetapi nilai-nilai agama harus dapat diimpelementasikan dalam realitas
kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Problematika Sosiologi
Secara selintas sosialisasi yang dilakukan dengan baik
akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi pendidikan, secara singkat dapat
dikatakan, bahwa sosialisasi ialah proses membimbing individu ke dalam dunia
sosial. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu pada kebudayaan yang
harus dimiliki dan harus diikutinya, agar dia menjadi anggota masyarakat yang
baik termasuk juga dalam berbagai kelompok khusus. Jadi sosialisasi juga dapat
dianggap sebagai pendidikan atau memanusiakan diri.
Dalam proses sosialisasi bisa terjadi kendala atau
hambatan hal ini karena, terjadinya kesulitan komunikasi dan adanya pola
kelakuan yang berbeda-beda atau bertentangan di antara kelompok. Dimana suatu
proses seseorang menghayati norma kelompoknya merupakan suatu proses
sosialisasi.[1]
Pernyataan di atas merupakan suatu definisi dari problematika sosiologi.
B.
Problematika Sosiologi di Sekolah
Setelah masuk sekolah anak harus dapat menyusuaikan
diri dengan kondisi serta aturan-aturan sekolah yang berlaku dan formatif.
Tidak sedikit anak-anak pada masa awal sekolah menangis karena belum dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru.misalnya anak ketika
masih di rumah mendapat perhatian dari beberapa orang misalnya oleh orang
tuanya, nenek, kakek dan yang lainnya sedangkan di sekolah guru harus
memperhatikan anak-anak dalam satu kelas untuk itulah sosialisasi di sekolah
harus dilakukan oleh anak, disamping guru juga harus menyusuaikan diri dengan
tuntutan / kondisi di sekolah.
Di kota- kota besar, di mana orang
tua banyak di sibukkan oleh kegiatan di luar rumah, seperti suami dan istri
bekerja semua sehingga anak-anaknya terpaksa tidak ada yang mengasuh maka
sekolah pun dapat berfungsi sebagai tempat penitipan anak. Namun, di sisi lain
sekolah justru mampunyai peranan yang lebih penting yaitu sebagai tempat
bersosialisasi bagi anak-anak ataupun remaja. Dan tujuan utama dari sosialisasi
ini tidak lain adalah agar peserta didiknya menjadi anggota masyarakat yang
baik sesuai harapan masyarakat, karena peranan yang dilakukan sekolah
dimaksudkan agar sekolah dapat senantiasa berinteraksi dengan masyarakat.
Jika kita melihat tujuan ini, maka sosialisasi di
sekolah ini harus dilakukan, namun tetap saja dalam mencapai sebuah tujuan
bukanlah hal yang mudah, apalagi di sekolah yang mencakup berbagai macam
karakter siswa yang ada berbeda-beda. Dan bahkan mungkin yang timbul justru
masalah-masalah sosial di sekolah. Masalah-masalah sosial di sekolah ini banyak
sekali bentuknya, dan bisa di timbulkan oleh berbagai faktor. Dan adapun
masalah-masalah itu misalnya,
- Masalah anak yang sering membolos
Anak-anak yang sering melakukan tindakan “mambolos”
yang kemungkinan besar semua ini terjadi karena si anak ketidak mampuan
bersosiaslisasi dengan teman-teman di sekolahnya, atau mungkin juga karena ia
tidak menyenangi pelajarannya. Bahkan mungkin juga karena ia tertekan dengan
keadaan keluarganya, misalnya kedua orang tuanya sibuk, sehingga ia merasa
kesepian, merasa tidak ada yang memperhatikan, dan tentunya kurang kasih sayang
dari kedua orang tuanya, sehingga melakukan hal yang demikian.
Dan jika si anak terus-menerus melakukan hal yang
demikian, maka pihak sekolah akan mengambil tindakan tegas, misalnya yaitu
dengan mengeluarkan anak dari sekolah, sehingga anak tersebut putus sekolah
(drop out), karena tentunya jika anak seperti ini tidak di tindak tegas maka
akan memberi pengaruh buruk terhadap siswa yang lain.
- Masalah putus sekolah ( Drop Out )
Banyak pakar pendidikan yang menyatakan bahwa sistem
pendidikan di Indonesia
masih menunjukan kekurangefesienan. Hal ini nampak pada antara lain dari jumlah
peserta didik yang mengalami putus sekolah, banyaknya peserta didik yang kurang
mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan minat, bakat, aspirasi dan kondisi
sosial ekonominya.[2]
Putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada
mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan,
sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.
Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak
bekerja atau berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan
sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya
pendidikan atau pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan yang
dapat menopang kehidupan sehari-harinya.[3]
Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rendah diri. Bila menimbulkan
gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan
dengan norma-norma sosial yang positif.
3. Kenakalan anak atau remaja di sekolah.
Masalah kenakalan anak sering menimbulkan kecemasan
sosial karena eksesnya dapat menimbulkan kemungkinan “gap generation” sebab anak-anak yang diharapkan sebagai kader-kader
penerus serta calon-calon pemimpin bangsa banyak tergelincir kedalam
penyimpangan. Untuk itu upaya-upaya menangkal secara bijak tepat dan efesien
merupakan topik pembahasan agar memperoleh tambahan masukan untuk menghasilkan
terapi yang semakin akurat bagi para pendidik khususnya dan pemuka masyarakat
umumnya dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui
ilmu-ilmu yang memajukan sehingga mencapai kemanusiaannya yang sesungguhnya.[4]
C.
Faktor Problematika Sosiologi di Sekolah
Fenomena
kekerasan dalam lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita
sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak
hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan
nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih
sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang,
sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh
subur dan melembaga. Mereka mungkin juga lupa bahwa kita adalah manusia yang
hadir dengan aneka perbedaan, bermacam-macam warna, dan banyak
kepentingan. Kekerasan di lembaga pendidikan tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Akar masalahnya harus segera ditemukan untuk dijadikan brainstorming[5]
dalam rangka mencari pemecahan masalah.
Ada sejumlah problem
sosial di sekolah yang melatarbelakangi seringnya terjadi tindakan
kekerasan dewasa ini. Pertama, aksi kekerasan pelajar merupakan
refleksi kehidupan sosial bangsa saat ini.[6]
Bukankah konflik terus berkecamuk dalam keseharian kita. Konflik antar anggota
masyarakat maupun konflik antar elit politik. Hampir setiap saat kita
disuguhi pengalaman hidup yang mengerikan seperti merusak ataupun
membakar. Masyarakat kita, termasuk pelajar tumbuh dalam arena kekerasan.
Akibatnya, mereka cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan
permasalahannya. Kedua, kegagalan institusi pendidikan
membentuk generasi yang berakhlak mulia. Keluarga, sekolah, dan masyarakat
sebagai instituĂs pendidikan memegang peranan untuk menciptakan generasi yang
memiliki social intelligence.[7] Ketiga,
merosotnya nilai-nilai kemanusian. Kekerasan mengindikasikan menurunnya
pemahaman akan nilai-nilai kemanusian dalam diri masyarakat. Perasaan halus,
keluhuran budi, dan kesantuan dikuasai oleh nafsu dan emosi. Keterasingan
dari nilai kemanusian menyebabkan susahnya melahirkan solidaritas dan relationship
yang kokoh.[8] Padahal,
pendidikan merupakan usaha untuk membangun power with.[9]
Secara fenomenologis tampak bahwa gejala kenakalan
timbul dalam masa pubertas atau pancaroba dimana jiwa dalam keadaan labil,
sehinggan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang anak tidak tiba-tiba
menjadi nakal, tetapi menjadi nakal karena beberapa saat setelah dibentuk oleh
lingkungannya.( keluarga, sekolah, masyarakat ), gejala tingkah laku anak yang
memperlihatkan atau menjurus pada perbuataan kenakalan harus dapat dideteksi
sedini mungkin sebab bila tingkah lakunya telah melewati batas, maka akhirnya
anak tidak mampu lagi menghadapi dirinya sendiri dalam hidup bermasyarakat yang
sehat adapun gejala-gejala yang mengarah kepada perbuatan kenakalan antara lain
:
1. Anak-anak yang sering menghindarkan dari tanggung
jawab di sekolah / rumah. Hal ini biasanya disebabkan karena anak tidak
menyenangi pekerjaan yang ditugaskan kepadanya sehingga ia akan menjauhkan diri
dari kesibukan-kesibukan sekolah dan mencari kesibukan lain yang tidak
terbimbing atau terawasi.
2. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian
/ konsentrasi mereka karena adanya koncangan emosi pada dirinya
3. Anak yang sering menyakiti dan mengganggu
teman-temannya baik di rumah maupun disekolah
4. Anak yang suka membolos karena malas belajar atau
tidak menyukai mata pelajaran tertentu.
Adapun beberapa penyebab utama terjadinya masalah-masalah sosiologi di
sekolah diantaranya,
- Lingkungan keluarga yang pecah, kurang perhatian, kurang kasih sayang, karena masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing.
- Situasi sekolah yang menjemukan dan membosankan, padahal harusnya sekolah menjadi faktor penting untuk mencegah kenakalan bagi anak-anak.
- Lingkungan masyarakat yang tidak / kurang menentu bagi prospek kehidupan masa mendatang.
D.
Pemecahan Terhadap Problematika Sosiologi
di Sekolah
1. Pendekatan disiplin dan bimbingan
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang
bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang
merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa
yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2)
pendekatan bimbingan dan konseling.[10]
Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan
disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di
sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah,
aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk
mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa.
Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus
mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku.
Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana
berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para
siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu
digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan
pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek
jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih
mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan
teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling
sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan
pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara
konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa
tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat
mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan
kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib
sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan
harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin
tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali
siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada
orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan
Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan
sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin
memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di
dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran
positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima
resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang
dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk
melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa
yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru
BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari
sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan
tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh
kebahagiaan dalam hidupnya.
2. Penanganan masalah putus sekolah
Masalah putus sekolah bisa menimbulkan ekses dalam
masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas kita semua khususnya melalui
strategi dan pemikiran-pemikiran sosiologi pendidikan sehingga para putus
sekolah tidak mengganggu kesejahteraan sosial. Dalam mengatasi hal ini
sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu :
a.
Langkah preventif yaitu dengan cara membekali para
peserta didik dengan keterampilan-keterampilan praktis dan bermanfaat sejak
dini agar kelak bila diperlukan dapat merespons tantangan-tantangan hidup dalam
masyarakat secara positif, sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi parasit
atau tidak menjadi beban masyarakat.
b.
Langkah pembinaan yaitu dengan cara memberikan
pengetahuan –pengetahuan praktis yang mengikuti perkembangan atau pembaharuan
zaman melalui bimbingan dan latihan-latihan dalam lembaga-lembaga sosial atau pendidikan luar sekolah.
c.
Langkah tindak lanjut yaitu dengan nmemberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk terus melangkah maju melalui
penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa
mengada-ada ,termasuk membina hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih luas
dalam masyarakat.[11]
3. Home Visit
Program pembimbingan siswa melalui kunjungan
rumah tidak jarang manajemen sekolah menghadapi suatu masalah rumit yang
berhubungan dengan tingkah laku siswanya, tingkah laku gurunya ataupun stafnya
di sekolah. Kadang masalah yang sederhana kelihatannya remeh akan menjadi
masalah rumit manakala manajemen sekolah tersebut tidak cepat segera mengatasi
secara tuntas. Interaksi yang terjadi di sekolah antara siswa dengan siswa,
siswa dengan guru, guru dengan guru, guru dengan staf, dan antar staf di
sekolah terkadang memunculkan suatu permasalah rumit yang harus dihadapi pihak
manajemen sekolah. Bentuk permasalahan itu bisa bermacam-macam, seperti masalah
kinerja, kekompakan, kerukunan antar pegawai, masalah kesejahteraan, iklim,
budaya sekolah, dan masalah belajar pembelajaran siswa di sekolah.[12]
Komunikasi langsung dengan orang tua dapat
dibangun dengan baik dan harmonis melalui Home Visit. Di sini guru
diminta keiklasannya untuk bisa menyisihkan waktu dan tenaganya di luar tugas
utamanya mengajar di kelas. Home
Visit merupakan salah satu cara
membantu, menolong dan memberi bimbingan kepada siswa yang mengalami
kesulitan-kesulitan belajar dan masalah pribadi siswa Home Visit ini banyak sekali manfaatnya jika dimengerti benar-benar maksud serta
dikuasai teknik-teknik yang diperlukan.
Home Visit banyak sekali tujuan atau maksudnya antara lain untuk mendapatkan data
atau informasi yang lengkap dan konkrit tentang keadaan siswa yang
bersangkutan, dan memberitahukan secara langsung kepada pihak keluarga yang
bersangkutan. Kegiatan dalam HV dapat berbentuk pengamatan dan wawancara, terutama
tentang kondisi rumah tangga, fasilitas belajar, dan hubungan antar anggota
keluarga dalam kaitannya dengan permasalahan siswa. Masalah siswa yang dibahas
dapat berupa bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan bidang bimbingan
karier.
Sebelum mengadakan Home Visit perlu persiapan-persiapan yang cukup matang, perencanaan,
pengadministrasian Secara umum persiapan yang perlu dilakukan pertama
menentukan tujuan H V tersebut dengan jelas. Rencana Home Visit ini perlu dirundingkan dengan guru-guru lain semisal Guru Rumpun dan
Kepala Sekolah. Kedua Pelajari keadaan keluarga yang akan dikunjungi, melalui
informasi- informasi yang ada. Informasi primer bisa didapat dari catatan yang
ada disekolah, jika informasi dirasa belum cukup bisa mencari informasi melalui
sumber-sumber lain, guru, teman kerja ataupun tetangga calon keluarga yang akan
di kunjungi. Ketiga mempersiapkan materi atau bahan yang akan dibicarakan dan
ditanyakan. Tulislah materi pokok yang akan ditanyakan secara sitematis,
sehingga dalam Home Visit nantinya tidak kehilangan arah pembicaraan.
Sesuaikan bahan yang akan dibicarakan dengan tujuan Home Visit. Keempat
mempersiapkan bagaimana cara menulis atau mencatat hal-hal yang akan diperoleh.
Pertimbangkan apakah perlu mencatat data pada saat Home Visit atau data itu
dicatat setelah selesai Home Visit. Jangan lupa memberitahukan kepada keluarga
yang bersangkutan, sebelum mengadakan Home Visit. Usahakan
pemberitahuan ini melalui surat
resmi dari sekolah.
BAB III
PENUTUP
Problematika
sosiologi dalam lingkungan sekolah merupakan hal yang wajar. Seperti yang telah
disebutkan bahwa suatu problem khususnya di sekolah merupakan suatu gejala
abnormal yang diakibatkan unsur-unsur yang berhubungan dengan lingkungan
sekolah tidak bejalan atau berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti halnya
masalah interaksi antara guru dan muridnya yang kurang harmonis, atau hubungan
siswa yang satu dengan siswa yang lainnya
yang selalu berbeda pendapat. Tidak semua problem seorang siswa
dikarenakan oleh lingkungan sekolah yang kurang efektif dalam memberikan arahan
kepada siswanya. Namun, keadaan lingkungan keluarga yang kurang bersosialisasi
antara anggota keluarganya pun dapat mempengaruhi terjadinya masalah-masalah
pada siswa.
Pihak sekolah
harus bertanggung jawab penuh atas apa yang dialami oleh siswanya. Tidaka hanya
itu, sekolah pun membutuhkan kerjasamanya dengan pihak keluarga maupun
masyarakat luas untuk bersama memecahkan problem-problem sosiologi yang dialami
oleh para remaja sekolah.
Pendekatan
disiplin dan pendekatan konseling bagi siswa yang bermasalah merupakan salah
satu solusi untuk memecahkan masalah remaja sekolah. Tidak hanya itu, ada suatu
metode untuk membantu atau mencegah terjadinya kenakalan remaja atau
problematika sosiologi di sekolah yakni, dengan kunjungan rumah yang dilakukan
oleh para pendidik atau yang lebih populer disebut dengan home visit.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
Ary H. 2000. Soiologi Pendidikan : Suatu
Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Horton,
Paul B. dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung
: Remaja Rosdakarya.
Paterson, Kathy. 2007. 55 Teaching Dilemmas : 55 Dilema dalam Pengajaran
(Sepuluh Solusi Terpilih untuk Menjawab Tantangan di Kelas). Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Satmoko,
Retno. 1995. Pengantar Pendidikan. Jakarta
: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas
Terbuka.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
http://massofa.wordpress.com/2008/04/30/403/
[1] Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1996,
hlm. 115.
[2]
Retno S. Satmoko, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995, hlm.
203.
[3] Ary H.
Gunawan, Soiologi Pendidikan : Suatu
Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, hlm. 71.
[4] Ibid. hlm. 88.
[5] Ilham
atau petunjuk yang menggerakan hati sebagai patokan untuk mencari solusi atau
penyelesaian atas terjadinya problematika.
[6]
Kekerasan di lembaga pendidikan merupakan refleksi ketidakmampuan generasi kita
untuk menyadari dirinya dan memahami orang lain. Egoisme untuk selalu
“dipahami” lebih dominan ketimbang ketulusan untuk “menyadari” keberadaan dan
kebutuhan orang lain. Kesadaran untuk “mengerti” tenggelam oleh keinginan untuk
selalu “dimengerti”. Inti pendidikan adalah penyadaran diri peserta
didik kepada dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat.
[7] Kecerdasan
sosial atau social intelligence dalam arti kemampuan untuk membawa
diri dalam lingkungan pergaulan yang luas, menjalin interaksi secara
komunikatif, memahami adanya perbedaan, dan memiliki rasa peka terhadap sesama.
[8]
http://sultanhabnoer.wordpress.com/2007/07/03/kekerasan-di-lembaga-pendidikan-sebagai-bagian-problem-sosial/
[9] Menurut Dr. Sastraprateja pendidikan
merupakan usaha untuk membangun power with (kekuatan bersama), yaitu
kemampuan peserta didik membangun solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan
yang sama untuk memecahkan permasalahan.
[10]
http://www.psb-psma.org/blogs/akhmadsudrajat
[11] Ary H.
Gunawan, op. cit., hlm. 72.
[12]
http://massofa.wordpress.com/2008/04/30/403/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar